Pada
tahun 2003, Joseph E. Stiglitz, pemenang nobel ekonomi tahun 2001
menyampaikan bahwa ekonomi Amerika Serikat menunjukkan perkembangan yang
tidak sehat dan dapat memicu terjadinya resesi. Rendahnya tingkat suku
bunga pada waktu itu, kurangnya pengaturan dan terlalu bergantungnya
pertumbuhan ekonomi pada sektor properti menjadi penyebabnya. Siapa sangka, 5 tahun kemudian tidak hanya Amerika Serikat tetapi dunia menghadapi ancaman depresi global terbesar pada abad 21?
Awal Petaka
Petaka krisis dimulai jauh hari ketika WTC diruntuhkan oleh serangan
teroris yang memicu kekhawatiran terjadinya resesi global pada waktu
itu. Maklum meskipun hanya satu gedung, runtuhnya WTC memberikan
implikasi yang cukup luas dari tali temali bisnis (WTC merupakan salah
satu tempat institusi keuangan global bermarkas) hingga diragukannya
Amerika sebagai negara yang aman dalam melakukan kegiatan bisnis.
Dalam kondisi kepanikan pasca serangan, Fed sebagai otoritas moneter
Amerika mau tidak mau harus menjaga kestabilan mata uang sekaligus
menjaga dana tidak lari keluar yang dapat mematikan sektor riil.
Bagaimana caranya? Yang paling mudah adalah dengan memangkas suku bunga
hingga dibawah 2% dari tahun 2001 hingga tahun 2004. Dengan
demikian suku bunga pinjaman dapat ditekan pada level yang rendah
sekaligus menjaga pembangunan sektor riil tidak mandeg setelah pasca
serangan.
Dan itu berhasil. Sektor perumahan menjadi salah satu sektor yang
berkembang. Ancaman resesi dapat dihindari. Semua negara memuji langkah
cepat yang diambil Fed.
Sayangnya hal ini tidak dapat berlangsung lama. Rendahnya suku bunga
ditambah lemahnya regulasi membuat perkembangan kredit disektor
perumahan menjadi bola liar yang tidak terkendali. Sebelumnya perlu kita
ketahui bersama bahwa bagi rakyat Amerika kebanyakan, properti
merupakan hal yang sangat familiar kalau tidak bisa dikatakan sebagai
pondasi ekonomi mereka. Satu dari tujuh warga yang bekerja di Amerika
Serikat biasanya bekerja pada perusahaan yang terkait dengan perumahan
baik itu langsung atau tidak langsung. Disinilah celah resesi mulai
terkuak. Perbankan dengan semangatnya membuka kredit bagi nasabahnya
yang berkeinginan memiliki rumah berhubung rendahnya acuan suku bunga
pinjaman dari Fed.
Dalam dunia kredit mengkredit (diluar kredit panci, kompor atau baskom
ala Indonesia...) dikenal tingkatan dari yang memiliki tingkat gagal
bayar rendah (prime) hingga yang memiliki tingkat gagal bayar tinggi alias tukang kemplang hutang (sub prime). Nah bagi nasabah yang memiliki tingkat gagal bayar tinggi tentu saja ini merupakan resiko bagi perbankan. Untuk menanganinya biasanya para kreditur Sub Prime ini diberikan bunga yang lebih tinggi dari pada kreditur bergolongan prime.
Tapi coba lihat dari sisi si kreditur berkategori sub prime
ini. Dengan kemampuan finansial yang pas-pasan mereka harus mengambil
kredit dengan bunga tinggi yang justru memperbesar resiko mereka
mengalami gagal bayar.
Kondisi ini diperparah dengan dikeluarkannya berbagai produk derivatif
(turunan) berbasiskan perumahan. Produk seperti CDS (Credit Default Swap)
atau CDO (Collaterzed Debt Obligation) yang juga erat berkaitan dengan
surat-surat utang dari perumahan ramai dikeluarkan semenjak tahun 2001.
CDS sendiri yang pada dasarnya adalah sebuah surat jaminan yang
dikeluarkan perusahaan asuransi apabila sebuah surat utang mengalami
gagal bayar memiliki kapitalisasi pasar hingga 68 Triliun Dollar US
(Kompas 10/8/08). Jauh lebih besar semenjak tahun pertama dikeluarkannya
yang hanya miliaran Dollar.
Lain CDS lain lagi CDO. Bila CDS relatif lebih jelas rimba rayanya
dikarenakan dapat ditelusuri siapa pembelinya, produk turunan seperti
CDO lebih sulit dilacak. CDO bebas diperjual belikan di pasar tanpa
perlu pencatatan siapa pembelinya dan memiliki kategori AAA hingga yang
tergolong junk. Gunanya adalah sama, sebagai penjamin bila terjadi kegagalan bayar dari sebuah debt issuer. Namun
justru produk-produk seperti inilah yang pada akhirnya menggoyahkan
fundamental ekonomi karena sederhananya merupakan aksi menutup hutang
dengan hutang baru. Produk-produk seperti inilah yang menjadi pintu
menyebarnya krisis perumahan ke berbagai sektor.
Dengan perkembangan ekonomi global terutama negara berkembang seperti
India dan China yang membutuhkan banyak energi dan bahan-bahan tambang
untuk pembangunan mereka, harga komoditas dunia pun ikut merangkak naik.
Ini memicu terjadinya inflasi yang juga mengimbas Amerika Serikat.
Maka suku bunga harus dinaikkan.
Era suku bunga rendah mulai ditinggalkan dan diganti dengan kenaikkan bertahap suku bunga hingga mencapai 5.25%.
Dengan demikian bom waktu yang telah terpasang pun meledak. Para kreditur sub prime mulai
kehilangan kemampuan membayar kredit rumah mereka. Kemacetan terjadi
kemana-mana dan karena yang terlibat di sektor perumahan ini bukan hanya
perusahaan pembiayaan perumahan tapi juga bank-bank investasi besar dan
juga seluruh dunia, mau tidak mau imbasnya pun sampai kemana-mana.
Sebenarnya krisis subprime mortgage ini sudah dimulai sejak
awal tahun 2007 dan mulai memanas semenjak jatuhnya Bear Stearns Mei
2008 dan kemudian dibeli oleh JP Morgan Chase dengan dana pinjaman dari
Fed. Dari sini krisis bergulir dan ternyata kebobrokan demi kebobrokan
mulai terungkap.
Dampak Subprime
Satu demi satu korporasi besar mengalami kesulitan dana dikarenakan banyaknya toxic assests yang
dimiliki karena kemacetan kredit rumah. Citigroup, bank terbesar dari
sisi aset dan pendapatan "terpaksa" menerima bantuan suntikan dana
sebesar $7.5 Milyar dari Abu Dhabi Investment Authority. Negara kaya minyak ini sepertinya mulai melirik korporasi besar untuk memutar uang berlebih hasil penjualan minyak mereka.
Krisis pun terus bergulir. Meski Fed telah memotong kembali tingkat suku
bunga ke level 2% (belakangan hingga ke level 1.5%), kredit macet yang
telah terjadi menimbulkan krisis kepercayaan dan menyebabkan sulitnya
pinjaman diperoleh, khususnya pinjaman antar korporasi. Perusahaan yang
kadung telah memiliki aset-aset beracun kesulitan untuk mendapatkan dana
segar guna menjalankan operasi bisnis mereka.
Fanny Mae dan Fredie Mac, perusahaan pendanaan perumahan Amerika terpaksa harus di bail out oleh pemerintah US untuk mencegah kebankrutannya. Kedua perusahaan ini dikatakan too big to fail dikarenakan
nyaris 80% pembiayaan perumahan berasal dari kedua perusahaan ini.
Dengan menyediakan dana talangan masing-masing 100 milyar Dollar,
diharapkan kedua perusahaan ini dapat beroperasi dan tetap menyediakan
sumber pendanaan bagi rakyat Amerika.
Hal yang sama pun terjadi pada AIG. Perusahaan asuransi raksasa US ini
juga terpaksa di nasionalisasikan oleh pemerintahan Bush dengan
menggelontorkan dana 80 Milyar Dollar. Alasannya tetap sama dengan Fanny
dan Freddie: mencegah kepanikan dan kerusakan sistemik lebih jauh bila
perusahaan ini berhenti beroperasi. Entahlah apa artinya bagi mereka
yang awam pernyataan seperti itu.
Kadang enak juga kalau dipikir-pikir bila memiliki korporasi besar. Untung berkali lipat, dan bila bankrut pun masih ditolong.
Tapi tidak semua korporasi di bail out oleh pemerintah US.
Lehman Brothers contohnya. Bank investasi yang telah berusia 148 tahun
ini pun terpaksa memasuki chapter 11 (UU perlindungan bankrut) pada
tanggal 15 September 2008. Setelah berupaya kesana kemari mencari
bantuan dana segar yang (untungnya) didapat oleh Citigroup, AIG, Fannie
dan Freddie, Lehman gagal mendapatkannya dan mau tidak mau menyatakan
diri bankrut.
Tragis memang mengingat Lehman merupakan bank investasi terbesar
ke-empat di Amerika dan salah satu perusahaan investasi yang disegani
dunia. Dengan reputasi besar, sebelum krisis Subprime meledak,
surat-surat utang yang diterbitkan Lehman biasanya diakui sebagai surat
utang yang dapat dipercaya. Reputasi 148 tahun hancur dalam waktu kurang
satu tahun.
Dari Amerika ke Eropa
Setelah lama terkarantina di Amerika, krisis akhirnya pun turut menyebar
seiring dengan mulai gagal bayarnya berbagai surat utang yang dibeli
dari korporasi US. Uni Eropa sebagai kawan terdekat yang paling terkena
dampaknya. HBOS, dan RBS, bank Inggris terpaksa dibeli atau mendapatkan
bantuan suntikan dana.
Fortis, perusahaan investasi asal Belgia yang notabene sangat terkenal
reksadana sahamnya di Indonesia pun juga tak urung mendapatkan bantuan
pemerintahan Uni Eropa. Dexia, Hypos dan berbagai nama perusahaan yang
mungkin asing ditelinga orang awam tapi memiliki aset milyaran Dollar,
satu demi satu meminta bantuan dari Bank Sentral.
Sulit untuk menentukan berapa besaran yang pasti kerugian yang dicapai akibat krisis subprime ini. Bloomberg mencatat angka 600 milyar Dollar lebih sebagai besaran kerugian yang telah terjadi dan masih mungkin sekali bertambah. Belum
lagi kerugian di negara-negara lain seperti Jepang, Uni Eropa, Inggris
dan juga Canada yang acap kali membeli surat-surat utang dari bank-bank
US.
Bahkan China pun tidak luput dari kerugian langsung krisis Subprime
ini. Dengan cadangan devisa terbesar didunia (mencapai lebih dari $1.4
Triliun) hampir separuhnya ditanamkan pada surat-surat utang
pemerintahan US. Meskipun sudah sejak tahun lalu China menghentikan
kegiatan ini kerugian yang terjadi pun tidak sedikit. Kemungkinan bisa
mencapai ratusan milyar Dollar.
Yah. Angka yang keluar memang terbilang fantastis. Besaran Jutaan Dollar
sudah tidak bermain disini tapi sudah ke Milyaran Dollar bahkan menuju
Triliunan Dollar. Kerugian ini belum menghitung mandegnya sektor riil,
macetnya ekspor, dan juga kerugian tidak langsung lainnya seperti
kehilangan pekerjaan, harta benda dan sulitnya mendapatkan kepercayaan
bank. Jangan tanyakan lagi kerugian mental. Para petinggi Wall Street
sana tentu saja mengalami sakit kepala yang hebat memikirikan jalan
keluar menyelamatkan usaha mereka sekaligus menghadapi tuntutan
pemerintah karena disinyalir terlalu rakus. Beberapa demonstran bahkan
mengganti nama Wall Street dengan Fraud Street (Fraud = penipuan).
Bailout 700 Milyar. Berhasilkah?
Dalam kondisi yang carut marut seperti ini mau tidak mau tempat berlari
adalah kembali kepada pemerintah. Kongres AS terpaksa menyetujui bantuan
bailout sebesar 700 milyar USD guna mencegah kerugian lebih
lanjut. Dana ini rencananya akan diberikan dalam tiga termin dengan
besaran $250 Milyar, $100 Milyar dan $350 Milyar. Masing masing dengan
alokasi yang berbeda. Tujuannya hanya satu: mencegah kepanikan lebih
lanjut dan kerugian yang lebih dalam. Pemerintah juga terpaksa membeli
aset-aset bermasalah yang menjadi biang kerok calon krisis dunia ini
dengan harapan bank dapat kembali menjalankan fungsi mereka sebagai
lembaga penyalur kredit.
Berhasilkah?
Semua orang menanyakan pertanyaan yang sama. Tapi sama seperti krisis
tidak terbentuk dalam satu hari, penyembuhannya juga tidak dapat
dilakukan dalam satu hari. Bailout memang sedikit banyak
menenangkan Wall Street, tetapi kekhawatiran masih terus berlanjut.
Hingga artikel ini dibuat, Dow Jones telah merosot melewati level
psikologis 10.000 dan meluncur hinggak ke 8600. Terrendah dalam beberapa
tahun terakhir ini. Berbagai rekor negatif baru tercipta menandakan
pasar masih belum percaya bahwa yang terburuk sudah berakhir.
Sebagian besar justru percaya bahwa yang lebih buruk masih akan datang.
Pemerintah Uni Eropa pun tidak ketinggalan. Meski menggunakan pendekatan
yang relatif berbeda, setiap negara Uni Eropa dan juga Jepang
menggelontorkan ratusan Milyar Euro untuk menjaga likuiditas pasar. Meski demikian bursa-bursa dunia terus berjatuhan. Berikut adalah posisi indeks berbagai bursa dunia pada saat artikel ini dibuat:
Name
|
Last Trade
(10 Oct 08 15:25 WIB)
|
|
|
All Ordinaries
|
3,939.50
|
|
|
Shanghai Composite
|
2,000.57
|
|
|
Hang Seng
|
14,675.8
|
|
|
Dow Jones Index
|
8,579.19
|
|
|
Jakarta Composite
|
1,451.67
|
|
|
KLSE Composite
|
968.89
|
|
|
Nikkei 225
|
8,276.43
|
|
|
NZSE 50
|
2,805.31
|
|
|
Straits Times
|
1,943.96
|
|
|
Seoul Composite
|
1,241.47
|
|
|
Taiwan Weighted
|
5,130.71
|
|
|
Sekedar patokkan, Dow Jones pernah mencapai titik tertingginya di level
14.000an dan IHSG di 2800an. Jadi kurang lebih telah mengalami penurunan
50%.
Lalu akankah krisis akan terus menerus terjadi. Tentu saja tidak! Market
akan menemukan kembali titik keseimbangannya dengan cara mereka
sendiri. Setiap kepanikan pada akhirnya akan berhenti dan kembali ke
titik normal bahkan mungkin saja kembali ke titik serakah seperti
sebelum krisis. Memang demikianlah dinamika pasar. Justru mereka yang
jeli melihat akan mengetahui bahwa masa-masa panik massal terjadi justru
adalah kesempatan terbaik membeli dengan harga murah.
USD Dollar, Euro, Yen dan Rupiah?
Ok, berhubung Belajar Forex adalah portal edukasi yang menitik beratkan
forex trading tentu rasanya kurang afdol bila tidak membahas
perkembangan beberapa major currencies di dunia. Kali ini mari kita
fokuskan pada beberapa mata uang utama saja.
Yang pertama tentu saja US Dollar. Kalau kita perhatikan bersama
semenjak pecahnya kepanikan massal yang dipicu bankrutnya Lehman
Brothers, Dollar terus menerus mengalami penguatan. Dari mana logika ini
berasal? Bukankah seharusnya bila sebuah negara mengalami krisis mata
uangnya akan melemah?
Well, memang benar secara jangka panjang mata uang sebuah negara
cenderung melemah dimasa resesi ekonomi. Namun demikian untuk jangka
pendek (yang artinya bisa beberapa minggu hingga bulan) Dollar justru
memiliki kesempatan besar untuk terus menguat dikarenakan minimnya
likuiditas mata uang. Seperti telah dibahas di atas bahwa pada saat ini
bank-bank besar tidak dapat lagi sembarangan menyalurkan kredit mereka
karena setiap institusi sangat membutuhkan dana cash untuk membiayai
semua kegiatan bisnis mereka. Hal ini mengakibatkan kegiatan menimbun
uang yang mirip sekali dengan masa-masa bencana alam terjadi dimana
masyarakat ramai-ramai menimbun sembako. Kali ini yang menjadi sembako
tentu saja Dollar. Dollar ramai diburu berhubung memang mata uang satu
ini masih dijadikan patokan banyak perusahaan untuk total dana yang
dimiliki. Itulah penyebabnya Dollar terus menerus menguat belakangan
ini.
Itu sebabnya kita menyaksikan bersama bahwa USD menguat hampir disemua
pasangan mata uang kecuali Yen Jepang. Mengapa Yen justru menguat
terhadap Dollar? Ini juga menjadi pertanyaan. Jawabannya ada pada
istilah unwinding carry trade alias pembalikan dari aksi carry
trade. Bila selama masa carry trade berlangsung investor cenderung
meminjam Yen Jepang (berhubung suku bunga yang hanya 0.5% - 12/10/08)
dan menaruhnya pada negara-negara bersuku bunga tinggi seperti Australia
atau Selandia Baru, pada masa krisis terjadi, dana-dana tersebut mulai
kembali ditarik dan dikembalikan ke mata uang negara asalnya. Itu
sebabnya terjadi banyak pembelian terhadap Yen Jepang yang mengakibatkan
mata uang ini justru menguat. Belum lagi anggapan psikologis kebanyakan
investor bahwa Jepang dengan Yen-nya adalah mata uang spesialis krisis
dimana lebih stabil pada masa-masa tidak tentu. Mirip-mirip dengan emas.
Untuk Euro dan Rupiah kondisinya tidak jauh berbeda dengan mata uang
negara lain. Keduanya melemah terhadap Dollar. Hanya saja Uni Eropa
memang sedang mengalami imbas krisis dengan Dexia, Hypo dan Fortis
sebagai contoh utamanya sedangkan Indonesia sebenarnya tidak atau belum
mengalami krisis apa pun secara fundamental dan hanya terpengaruh
berhubung banyak dana asing yang keluar. Itu sebabnya kita menyaksikan
Rupiah terkerek naik hingga melewati Rp 10.000 per Dollar dan Euro juga
mengalami nasib yang serupa.
Kalau diperhatikan ketika krisis mulai merebak dan sebagian bank sentral
memotong suku bunga mereka, BI sebagai otoritas moneter Indonesia
justru menaikkan BI rate. Beberapa analis menyalahkan tindakan
BI yang menaikkan suku bunga karena dinilai kontra produktif untuk
kredit perbankan. Namun demikian, pada dasarnya BI memiliki dasar yang
logis untuk menaikkan suku bunganya. Pertama, laju inflasi Indonesia
berbeda dengan laju inflasi negara maju. Kalau di negara maju laju
inflasi sudah menurun berhubung lesunya ekonomi, Indonesia masih harus
menghadapi naiknya inflasi. Bisa dikatakan hingga artikel ini dibuat,
ekonomi masyarakat masih belum terpengaruh dengan imbas krisis finansial
dunia. Memang BEI sempat di suspen berhubung anjlok lebih dari 10%
dalam waktu beberapa jam saja. Tapi itu pun tidak bisa mewakili kondisi
ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Hanya 0.5% masyarakat yang
berpartisipasi didalamnya.
Alasan lainnya tentu saja untuk menjaga laju depresiasi Rupiah yang bila dibiarkan terlalu volatile justru
akan memukul langsung roda ekonomi. Bila Rupiah melemah dengan drastis
maka para pelaku ekonomi akan merasakan dampak pukulan langsung dimulai
dari mahalnya harga barang-barang impor, sulitnya penjual menjual
produk-produk mereka hingga akan semakin maraknya aksi spekulasi yang
justru mendorong Rupiah turun lebih dalam.
Dengan alasan-alasan di atas, masuk diakal BI justru mengambil langkah
berlawanan dengan menaikkan suku bunganya. Dengan menaikkan suku bunga
diharapkan dana investor yang telah terlanjur keluar dapat kembali masuk
ke pasar domestik atau setidaknya dana yang masih ada di Indonesia
tidak keluar lebih lanjut. Memang ini adalah double edge side dari pasar
investasi finansial seperti bursa saham atau pasar valuta asing yaitu
likuidnya arus uang. Mudah masuk tapi juga mudah keluar.
Dampak Krisis Dunia ke Sektor Riil Indonesia
Pertanyaan lain yang perlu kita simak adalah bagaimana efek krisis yang
sedang terjadi dengan sektor riil perekonomian Indonesia. Pintu masuk
hantu krisis kali ini justru bukan terletak pada ambruknya BEI sebagai
pusat perdagangan pasar modal Indonesia. Menurut Wapres Jusuf Kalla, BEI
hanyalah 0.5% dari kapitalisasi ekonomi Indonesia. Berbeda dengan
Wallstreet-nya Amerika yang mencapai 150%.
Pintu masuknya ada pada kurs
Rupiah yang dikhawatirkan akan terus menerus melemah terhadap Dollar
dan melemahnya pasar ekspor-impor tiap-tiap negara. Kedua kondisi ini
merupakan pintu masuk krisis karena lazim kita ketahui di era
globalisasi, tidak ada negara yang perekonomiannya independen dan tidak
terpengaruh dengan ekonomi negara lain. Tidak juga Cina yang dibanggakan
dengan cadangan devisanya yang terbesar. Mungkin ada beberapa
pengecualian seperti Myanmar dan Korut. Tapi itu pun kondisi ekonominya
tidak lebih baik dengan Indonesia.
Dengan melemahnya Rupiah, katakanlah hingga ke level Rp. 15.000 per
Dollar maka tentu saja akan sangat memberatkan kegiatan impor Indonesia
terutama impor barang-barang elektronik, beberapa komoditas pertanian
hingga otomotif. Para importir mau tidak mau menerima barang dengan
harga tinggi dan juga terpaksa menjualnya dengan harga yang lebih
tinggi. Dengan demikian daya beli akan melemah. Beberapa sektor produksi
akan terhambat kegiatannya berhubung terkurasnya modal untuk pembelian
alat-alat produksi dan juga pembayaran hutang-hutang yang akan jatuh
tempo.
Dilain sisi kondisi ekspor mungkin sepertinya terlihat menggembirakan
karena Dollar yang menguat. Tapi jangan lupakan bahwa daya beli negara
tujuan pun melemah karena bank sebagai sumber pembiayaan mengalami
kesulitan likuiditas sehingga tidak dapat menyalurkan kredit dengan
lancar. Pendek kata semua pihak merugi dalam kondisi finansial krisis
sekarang.
sumber: belajarforex